Xi Jinping Datang Ke Indonesia

Xi Jinping Datang Ke Indonesia

Motivasi Bangsa Barat ke Indonesia

MLS Harusnya Panutan MbS?

Sepak bola di AS sejatinya bukanlah olahraga yang populer. Rakyat AS lebih identik dengan olahraga basket dan bisbol yang juga sudah membesarkan nama AS di mata dunia.

Namun, berkat pengelolaan yang dilakukan dengan profesional, sepak bola AS kini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu olahraga yang semakin populer di sana.

Ini seolah menjadi bukti dengan minimnya campur tangan pemerintah dalam urusan sepak bola, iklim investasi menjadi sehat sehingga pada akhirnya berdampak pada kualitas pemain dan kompetisi itu sendiri.

Josh Gans dalam tulisannya yang berjudul Call It Soccer: The Rise of The World’s Game in The United States menjelaskan MLS sebagai liga kasta tertinggi di negara itu juga awalnya berinvestasi pada pemain bintang dari liga-liga Eropa.

Namun, hal itu dimaksudkan demi meningkatkan kualitas liga, serta berfungsi sebagai teknik pemasaran yang berguna mengubahnya menjadi kompetisi yang jauh lebih terhormat tanpa embel-embel politik di belakangnya.

Ihwal itu sangat penting untuk perkembangan dan popularitas permainan sepak bola modern dan profesional.

Selain itu, sepak bola AS juga fokus dengan perkembangan pemain. Contohnya adalah program MLS Next, yang sebelumnya dikenal sebagai United States Development Academy, sebagai liga pemuda yang bertanggung jawab atas perkembangan ini.

Para pemain muda ini didorong dan diberikan jalur yang realistis untuk pindah ke Eropa dan mencoba menjadikannya sebagai pemain sepak bola, sebuah alternatif selain berkuliah.

Lalu, akankah MbS akan menyadari hal itu? Atau justru liga sepak bola Arab Saudi hanya akan mengulangi kesalahan liga sepak bola Tiongkok? (S83)

KOMPAS.com - Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang mendarat di Indonesia.

Penjelajahan samudra bangsa Portugis untuk menemukan negeri penghasil rempah-rempah, yang diketahui berada di dunia Timur, telah dimulai sejak akhir abad ke-15.

Ekspedisi yang dikirim raja Portugis berhasil mencapai Tanjung Harapan di Afrika Selatan pada 1488, kemudian India pada 1498.

Di bawah kepemimpinan Alfonso de Albuquerque, Portugis berhasil menguasai Goa di India pada 1510 dan Malaka pada 1511.

Lantas, kapan Portugis datang ke Indonesia?

Baca juga: Penjelajahan Samudra oleh Portugis: Latar Belakang dan Kronologi

Keberhasilan Alfonso de Albuquerque menguasai Malaka mendorongnya untuk mengirimkan tiga kapal ke kepulauan rempah-rempah di wilayah Nusantara bagian timur.

Pada 1512, tiga kapal yang dipimpin Kapten Antonio de Abreu dikirim oleh Alfonso de Albuquerque ke wilayah Indonesia.

Dalam perjalanan, salah satu kapal yang memuat perbekalan tenggelam di Madura. Sementara dua lainnya berhasil mendarat di Kepulauan Banda, yang menjadi pusat produksi pala.

Setelah satu kapal lagi tenggelam, sisa armada Antonio de Abreu akhirnya tiba di Ternate pada tahun yang sama.

Jadi, Portugis datang ke Indonesia pada tahun 1512 dan menjadi bangsa Barat yang pertama kali datang ke Nusantara.

Baca juga: Tokoh-tokoh Penjelajah Samudra dari Portugis

Pada awalnya, kedatangan Portugis di Ternate disambut baik oleh Sultan Bayanullah.

Ini karena tujuan Portugis datang ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah.

Kesamaan kepentingan perdagangan yang menguntungkan menyebabkan kehadiran Portugis diterima dengan baik di Ternate.

Sejak 1522, terjalin hubungan dagang, khususnya perdagangan cengkih, antara Portugis dan Ternate.

Namun, hubungan dagang menjadi rusak karena Portugis senantiasa ingin mendominasi Ternate.

Keserakahan Portugis yang ditunjukkan dengan mematok rendah harga cengkih, membuat rakyat Ternate bahkan Kepulauan Maluku sengsara.

Baca juga: Kedatangan Portugis di Ternate

Praktik monopoli perdagangan juga dilakukan dengan melarang penduduk berdagang rempah dengan bangsa lain dan menangkap kapal-kapal dagang penduduk.

Saat itulah penjajahan Portugis di Indonesia dimulai dan perlawanan sontak dilakukan oleh rakyat dari berbaga daerah.

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!

Bobo.id - Indonesia pernah menjadi tanah jajahan bangsa barat pada masa penjelajahan samudra.

Adapun negara yang termasuk bangsa barat adalah negara-negara dari Eropa, seperti Portugis, Belanda, Spanyol, dan Inggris.

Sebelum menjadi tanah jajahan, bangsa barat sebenarnya memiliki beberapa tujuan datang ke Indonesia.

Tujuan ini juga berlaku untuk negara-negara di Asia Tenggara, yang berada di sekitar Indonesia.

Lantas, apa saja motivasi bangsa barat datang ke Indonesia?

Yuk, simak jawabannya dari artikel ini!

Memperluas Kekuasaan

Setelah menemukan daerah penghasil rempah, bangsa barat berlomba-lomba untuk menjadikan daerah tersebut sebagai tanah jajahan.

Tujuan mendapatkan tanah jajahan yaitu untuk mengeruk keuntungan bagi bangsanya sendiri.

Kala itu, bangsa Eropa berupaya untuk menjadikan pulau atau tanah yang ditemukannya sebagai daerah yang dikuasai.

Baca Juga: Apakah Perbedaan Imperialisme Kuno dan Imperialisme Modern? Materi IPS

Semakin banyak dan besar luas wilayah tanah jajahan suatu negara, maka semakin berkuasa negara tersebut dibanding negara lain.

Adapun negara Eropa yang pernah menjajah Indonesia yaitu Portugis (1509-1595), Spanyol (1521-1529), dan Belanda (1602-1942).

Dalam semboyan imperialisme kuno, ada yang disebut Gospel atau penyebaran agama.

Tujuan penjelajahan samudra yang dilakukan bangsa barat yang masuk ke Indonesia yaitu menyebarkan agama.

Di Eropa, banyak orang menganut agama Nasrani, yaitu Kristen dan Katolik.

Setelah berhasil mendapatkan negara penghasil rempah-rempah, bangsa Eropa juga memiliki misi untuk menyebarkan agama Nasrani kepada penduduk daerah kekuasaannya.

Misi ini disebut tugas suci yang harus dilaksanakan ke seluruh dunia yang dipelopori oleh bangsa Portugis.

Memperoleh Kekayaan

Sejak menemukan tempat yang menyediakan rempah-rempah melimpah, bangsa barat menemukan tujuan lain di Indonesia.

Mengingat harga rempah yang mahal di Eropa, bangsa barat berupaya meraup keuntungan untuk menjual rempah yang diperoleh di Indonesia.

Ini dilakukan dengan tujuan untuk memperluas kekayaan, sesuai dengan prinsip imperialisme kuno, yakni 3G.

Semboyan 3G yaitu Gold, Glory, dan Gospel.

Gold berarti kekayaan, glory berarti kejayaan, dan gospel berarti penyebaran agama.

Faktanya, pada masa itu, harga rempah-rempah bahkan bisa semahal harga logam mulia, termasuk emas, teman-teman.

Melakukan Revolusi Industri

Bangsa barat merupakan bangsa maju yang sudah mengenal banyak teknologi dan mesin lebih dulu dibandingkan negara-negara di Asia.

Revolusi industri diketahui mulai berkembang mulai tahun 1750 sampai 1850, yang kemudian mendukung banyak ilmuwan menemukan hal baru.

Pada masa itu, mesin uap, kompas, teropong, dan peta sudah ditemukan, sehingga mendukung penjelajahan samudra.

Penggunaan teknologi tersebut diterapkan dalam perjalanan menuju Indonesia, termasuk mendukung proses mencari rempah-rempah.

Baca Juga: Apa Saja Dampak Positif dan Negatif Kolonialisme di Bidang Sosial?

Dampak positifnya, bangsa Indonesia dapat merasakan dan mempelajari teknologi yang memajukan pola pikir masyarakat.

Negara apa saja yang melakukan penjelajahan samudra?

Petunjuk: cek di halaman 1!

Lihat juga video ini, yuk!

Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.

Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.

Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

AIA Healthiest Schools Dukung Sekolah Jadi Lebih Sehat Melalui Media Pembelajaran dan Kompetisi

Bacalah teks berikut dengan seksama.

Judul Buku : O Amuk Kapak Tiga

Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bachri

Penulis : Sutardji Calzoum Bachri

Penerbit : Yayasan Indonesia bekerja sama dengan PT Cakrawala Budaya Indonesia

Cetakan : Cetakan keempat, 2004

Tebal Buku : 110 halaman.

Teks tersebut merupakan bagian … dari sebuah resensi buku.

Intervensi yang dilakukan Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) dalam pengelolaan kompetisi sepak bola Arab Saudi membuat kedatangan para pemain bintang sepak bola Eropa ke Saudi Pro League (SPL) dengan tawaran gaji fantastis dinilai hanya mengulang kesalahan yang dilakukan Xi Jinping di Tiongkok. Benarkah demikian?

Eksodus para pemain bintang sepak bola Eropa ke Saudi Pro League (SPL) tidak lepas dari intervensi yang dilakukan Pangeran Mohammed bin Salman (MbS).

Intervensi yang dimaksud adalah gelontoran dana dari lembaga investasi milik pemerintah Arab Saudi yang dipimpin sang putra mahkota, yakni Public Invesment Fund (PIF) yang mengakusisi 80 persen saham empat klub besar SPL. Empat klub tersebut adalah Al Ittihad, Al Ahli, Al Hilal, dan Al Nassr.

Dengan gelontoran dana yang seakan tidak terbatas jumlahnya, menjadikan empat klub tersebut dapat mendatangkan para pemain yang sebelumnya berkarier di liga-liga top Eropa dengan tawaran gaji yang nilainya fantastis.

Cara yang dilakukan Arab Saudi dalam rencana pengembangan sepak bola mereka sekarang, tampak serupa dengan yang dilakukan Tiongkok pada periode 2015 hingga 2020, yang kemudian jamak dinilai sebagai contoh kesalahan dalam rencana pengembangan sepak bola.

Well, mengapacara yang dilakukan Tiongkok tersebut dinilai sebagai contoh kesalahan pengelolaan sepak bola?

Seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Soccer Dream Xi Jinping Gagal Total?, pemerintah Tiongkok saat itu menyediakan mekanisme bagi klub Chinese Super League (CSL) untuk menggelontorkan dana demi memboyong pemain-pemain liga top Eropa untuk menaikkan pamor dan kualitas sepak bola Tiongkok, yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada pendapatan negara dan citra politik pemerintahan Xi Jinping.

Namun, ketika Pandemi Covid-19 melanda dan negara dalam kondisi krisis, hal itu membuat klub-klub CSL tersebut mengalami masalah finansial hingga menyebabkan klub tidak dapat membayar gaji dari para pemain bintang mereka. Akhirnya, para pemain itu memilih hengkang dan membuat sepak bola Tiongkok mengalami kemunduran.

Berkaca dari contoh tersebut, sifat negara nondemokratis seperti Tiongkok dan Arab Saudi yang ingin memiliki kendali di segala sektor kehidupan masyarakat dinilai sebagai sebuah kesalahan jika terkait dengan rencana pengembangan sepak bola.

Hal itu dikarenakan, mencampuradukkan rencana pengembangan sepak bola dengan politik dapat membuat dampak positif perkembangan sepak bola hanya bersifat sementara.

Beda halnya dengan apa yang dilakukan negara no–demokratis, dalam pengelolaan kompetisi sepak bola di negara-negara demokratis seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS), minimnya intervensi negara membuat perkembangan sepak bola menjadi lebih sustainable dan menimbulkan sebuah kompetisi olahraga yang sehat.

Lantas, dengan karakteristik yang sama sebagai negara non-demokratis, benarkah Arab Saudi akan mengulangi kesalahan dalam merencanakan pengembangan sepak bola yang dilakukan Tiongkok?

Sistem pemerintah yang non–demokratis dan cenderung otoriter sering dikatakan menjadikan olahraga sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Tak terkecuali sepak bola.

Sepak bola acap kali dijadikan sebagai alat politik sebuah pemerintahan untuk mencapai tujuan politik mereka.

Natalie Koch dalam publikasinya yang berjudul Sport and Soft Authoritarian Nation-building menjelaskan rezim otoriter yang lunak telah lama tertarik menjadikan olahraga elite dan massal sebagai strategi alat untuk mendapatkan rasa hormat dan legitimasi di panggung global.

Karakteristik dari rezim tersebut adalah dengan tidak mengandalkan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Namun, mereka lebih mengedepankan dengan strategi persuasif, yang salah satunya dilakukan dengan menjadikan olahraga sebagai alat politik mereka dengan dalih sebuah investasi.

Dengan dijadikannya olahraga menjadi strategi politik rezim otoriter, membuat liga domestik negara non–demokratis yang melibatkan terlalu jauh campur tangan pemerintah menjadi tidak terlalu kompetitif dibandingkan liga domestik negara demokratis.

Ignacio Lago, Carlos Lago-Peñas, dan Santiago Lago-Peñas dalam tulisan yang berjudul Democracy and Football menjelaskan tingkat kompetitif liga domestik tim-tim di negara demokrasi yang membebaskan pengelolaan investasi sepak bola mereka ke mekanisme pasar lebih baik dibandingkan negara non–demokrasi.

Dengan begitu, iklim persaingan dalam liga diyakini akan menjadi lebih sehat dan kompetisi liga domestik akan semakin menarik.

Dalam ekonomi, hal tersebut dikenal dengan konsep laissez faire yang artinya biarkan berbuat, biarkan terjadi, dan biarkan setiap orang berbuat sekehendak hati. Frasa ini digunakan oleh fisiokrat di abad ke-18, sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan.

Pandangan laissez faire menyatakan kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan, melainkan bersandar pada sistem pasar. Laissez faire juga menyebut pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam sebuah bisnis.

Dalam konteks Arab Saudi, campur tangan MbS dengan dalih bentuk investasi yang dilakukan pemerintah saat ini dalam sepak bola mereka menjadi salah satu contoh karakteristik rezim otoriter yang lunak.

Gelontoran dana investasi pemerintah disertai dengan campur tangannya dalam urusan sepak bola membuat klub-klub liga domestik mereka menjadi kaya raya dalam waktu cepat hingga  mampu menggoda pemain-pemain liga top Eropa dengan tawaran gaji yang fantastis untuk rela merumput di liga yang tidak sekompetitif di Benua Biru.

Sang Putra Mahkota tampaknya sadar ada beberapa pemain top Eropa yang sudah tidak lagi mementingkan tingkat kompetitif sebuah liga, tapi lebih mementingkan gaji karena memasuki akhir masa kejayaan karier mereka.

Namun, kedatangan para pemain bintang yang diharapkan meningkatkan kualitas sepak bola mereka tampaknya tak bisa secara instan dirasakan dampaknya.

Liga domestik dengan campur tangan pemerintah seperti yang terjadi di Arab Saudi saat ini kiranya belum dapat menyaingi tingkat kompetitif liga yang berjalan tanpa campur tangan pemerintah seperti di Eropa atau bahkan di AS.

Liga sepak bola domestik AS, yakni Major League Soccer (MLS) juga terus dengan membebaskan iklim investasi terhadap klub.

Seharusnya, jika MbS ingin menjadikan SPL sebagai daya tarik bagi kepentingan negara, investasi yang dilakukan PIF bukan hanya terhadap empat klub saja.

Itu dikarenakan, keistimewaan khusus yang diberikan berpotensi menimbulkan kesan monopoli kompetisi.

Lalu, meskipun memiliki kesamaan dengan Tiongkok yang merupakan negara dengan karakteristik nondemokratis, mengapa Arab Saudi disebut-sebut harus mencontoh MLS di AS yang meminimalisir campur tangan pemerintah dalam sepak bola dibandingkan CSL di Tiongkok?

Mencari Rempah-Rempah

Motivasi utama bangsa barat menuju Indonesia adalah untuk mencari rempah-rempah.

Sekitar abad ke-15, harga rempah-rempah di Eropa sangat mahal karena kebutuhannya yang tinggi.

Kebutuhan rempah di setiap negara semakin bertambah, sementara persediaan rempah di negara-negara wilayah Eropa justru terbatas.

Di Eropa, harga rempah sangat mahal dan sulit dicari, karena kondisi alam yang tidak cocok untuk menanam tumbuhan rempah.

Oleh karena itu, bangsa Barat mencari rempah-rempah ke negara-negara Asia yang beriklim tropis.

Baca Juga: Mengapa Bangsa Barat Menerapkan Imperialisme saat Penjelajahan Samudra?

Di Indonesia, beragam rempah dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah, untuk dimanfaatkan masyarakat.